Tekniksipil.id, Jakarta – Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap barang dari Indonesia mulai memicu kekhawatiran di sektor properti nasional. Meski bukan target langsung, sektor ini diperkirakan tetap terdampak, baik dari sisi psikologis pasar maupun pasokan bahan bangunan.
Langkah proteksionis terbaru dari Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump menambah tekanan bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Salah satu sektor yang mulai merasakan imbasnya adalah sektor properti, terutama dalam hal pengambilan keputusan investasi dan pergerakan pasar.
Investor Cenderung Menunggu dan Mengamati
Menurut Vivin Harsanto, Executive Director sekaligus Head of Strategic Consulting di JLL Indonesia, kebijakan ekonomi semacam ini menciptakan ketidakpastian yang memengaruhi perilaku pasar properti, terutama di segmen komersial.
“Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha cenderung bersikap hati-hati. Kami melihat adanya kecenderungan investor untuk menunda keputusan, atau bersikap wait and see. Ini tentu berdampak pada proses transaksi yang jadi lebih lambat,” ujar Vivin, Rabu (9/4/2025).
Selain itu, ia juga menyebut bahwa perusahaan-perusahaan mulai menerapkan strategi penghematan biaya (cost-saving), termasuk dalam perencanaan dan penggunaan real estat mereka.
Imbas Tidak Langsung, Tapi Nyata
Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, menilai bahwa meski properti bukan sektor yang langsung dikenai tarif, dampak tidak langsung tetap harus diwaspadai. Salah satunya adalah pada komponen bahan bangunan yang selama ini diimpor dari Amerika Serikat, seperti perlengkapan sanitary, keran, aksesori, hingga material finishing untuk hunian mewah.
“Rumah-rumah menengah ke bawah relatif aman karena nyaris seluruh bahan bangunannya produk lokal. Tapi rumah kelas atas, sebagian materialnya masih mengandalkan impor, termasuk dari AS,” jelas Bambang.
Ia menambahkan, krisis ekspor yang dialami China akibat tarif AS bisa memicu membanjirnya produk bangunan murah dari Negeri Tirai Bambu ke pasar Indonesia. Hal ini bisa menjadi keuntungan jangka pendek karena harga lebih rendah, namun berisiko bagi kelangsungan industri bahan bangunan dalam negeri.
“Kalau dibiarkan tanpa pengawasan, industri lokal bisa tergencet. Jadi harus ada pengendalian dari pemerintah,” imbuhnya.
Daya Beli Jadi Sorotan Utama
Lebih dari sekadar pasokan material, Bambang menyoroti bahwa dampak terbesar kebijakan tarif ini adalah potensi penurunan daya beli masyarakat. Baik kalangan menengah bawah maupun atas, kata dia, cenderung menunda pembelian properti saat situasi ekonomi global tidak menentu.
“Ketika kondisi global memanas, orang lebih memilih menyimpan uang daripada membeli rumah. Ini tentu berdampak pada penjualan dan putaran bisnis properti,” ucapnya.
Ia pun berharap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bisa cepat mengambil langkah antisipatif agar kebijakan perdagangan luar negeri seperti ini tidak merembet lebih jauh ke sektor-sektor domestik yang strategis.
Peluang Dorong Produk Lokal
Di tengah tantangan ini, muncul juga peluang untuk memperkuat pemanfaatan bahan bangunan dalam negeri. Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bisa menjadi jalan keluar dalam menstabilkan sektor konstruksi dan properti. Pemerintah diharapkan memberikan dukungan lebih besar terhadap industri material lokal agar mampu bersaing dari sisi kualitas maupun harga.
Tidak hanya menjaga kemandirian, pendekatan ini juga berpotensi membuka lebih banyak lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah penghasil material bangunan seperti semen, baja, atau keramik.
Kesimpulan: Waspada Tapi Optimis
Meski bukan sektor yang langsung terkena kebijakan tarif AS, properti Indonesia tetap harus waspada. Investor yang menahan diri dan ancaman dari produk impor murah harus ditangani dengan strategi yang tepat. Di saat yang sama, momen ini juga bisa dimanfaatkan untuk memperkuat industri lokal dan mendorong ekosistem properti yang lebih mandiri.
Pemerintah pun diharapkan hadir dengan kebijakan responsif yang tidak hanya mengantisipasi dampak jangka pendek, tapi juga membangun ketahanan sektor properti nasional untuk jangka panjang.