Jakarta – Tekniksipil.id. Rencana pemerintah untuk melonggarkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menuai kekhawatiran dari pelaku usaha di sektor konstruksi. Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) menilai kebijakan ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk bagi produk impor dan melemahkan industri lokal.
Sekretaris Jenderal Gapensi, La Ode Safiul Akbar, menyatakan bahwa pelonggaran TKDN bisa berdampak negatif terhadap sektor industri dalam negeri, khususnya pada produsen besi, baja, dan pipa yang selama ini menjadi penopang utama pembangunan infrastruktur.
“Kalau kita terlalu longgar dengan kebijakan TKDN, kita bisa kehilangan kesempatan untuk menggerakkan ekonomi dalam negeri. Produk-produk lokal akan kalah saing, dan industri bisa kolaps,” ujarnya, Senin (14/4/2025).
Menurut La Ode, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan tanpa pengawasan ketat, maka dampaknya akan sangat serius. Mulai dari tutupnya pabrik-pabrik, berkurangnya kapasitas produksi dalam negeri, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.
Ancaman PHK dan Lesunya Industri Lokal
Saat ini saja, kata La Ode, angka pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Jika pemerintah tetap melonggarkan TKDN, hal itu bisa memperparah kondisi ketenagakerjaan nasional. Ia mendorong pemerintah untuk tetap konsisten pada komitmen memperkuat industri lokal melalui regulasi yang pro terhadap penggunaan produk dalam negeri.
Dia mengusulkan agar pemerintah memberikan berbagai bentuk insentif kepada industri lokal, seperti kemudahan akses pembiayaan, teknologi, dan pelatihan peningkatan kualitas produksi agar bisa bersaing di pasar terbuka. “Intinya bukan semata-mata soal proteksi, tapi bagaimana kita membuat industri kita naik kelas dan tetap survive,” tegasnya.
Regulasi TKDN Sudah Jelas, Kenapa Harus Direvisi?
Saat ini, TKDN diatur melalui sejumlah regulasi, di antaranya Permenperin No. 2 Tahun 2014 dan Kepmen PUPR No. 602/KPTS/M/2023. Dalam aturan tersebut, minimal nilai TKDN untuk proyek konstruksi ditetapkan sebesar 25%. Adapun batas minimum ini bervariasi tergantung lingkup pekerjaan dan direktorat teknis, seperti Ditjen Sumber Daya Air (25-80%), Ditjen Bina Marga (60-70%), dan Ditjen Cipta Karya (30-85%).
Namun, belakangan muncul wacana dari Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan agar kebijakan TKDN dibuat lebih fleksibel dan realistis. Menurut Prabowo, niat TKDN memang baik dan nasionalis, namun jika pelaksanaannya terlalu kaku, bisa membuat Indonesia kalah bersaing di tingkat global.
“Kita harus realistis. Jangan sampai karena terlalu kaku dengan aturan TKDN, malah membuat produk kita kalah kompetitif. Bisa jadi insentif lebih efektif dibanding paksaan,” kata Prabowo dalam sebuah forum ekonomi belum lama ini.
Respon Pemerintah: Masih Dikaji
Menanggapi polemik ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dody Hanggodo, mengatakan bahwa pelonggaran TKDN masih dalam tahap kajian bersama Kementerian Perindustrian. Ia memastikan, apapun kebijakan yang akan diambil nanti, tidak akan membuat biaya pembangunan infrastruktur melonjak.
“Belum tentu pelonggaran ini akan meningkatkan biaya. Arahan Presiden jelas: pembangunan tetap harus efisien dan tidak membebani anggaran,” kata Dody, Jumat (11/4/2025).
Menurut Dody, relaksasi TKDN nantinya akan disesuaikan dengan kondisi tiap sektor industri. Artinya, tidak semua industri akan mendapatkan perlakuan yang sama. Pemerintah masih membahas teknis pelaksanaannya bersama Ditjen Bina Konstruksi dan Kemenperin.
“Kami belum bisa sampaikan detailnya, karena masih dalam tahap diskusi. Tapi intinya, relaksasi TKDN itu akan dilakukan secara selektif dan berdasarkan kebutuhan masing-masing sektor,” ujarnya.
Dilema: Proteksi vs Daya Saing
Wacana pelonggaran TKDN ini mencerminkan dilema klasik dalam kebijakan industri: antara melindungi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing global. Di satu sisi, Indonesia ingin mandiri dan memperkuat industri nasional, namun di sisi lain juga tidak ingin terisolasi dari dinamika perdagangan dunia.
Apalagi, kebijakan TKDN kerap dipermasalahkan oleh negara mitra dagang. Amerika Serikat, misalnya, menyebut aturan TKDN sebagai hambatan nontarif, yang bahkan memicu tarif resiprokal hingga 32% terhadap produk Indonesia, meski kini masih ditangguhkan selama 90 hari.
Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia siap untuk bersaing di pasar global dengan menurunkan perlindungan terhadap industri lokal? Atau justru sebaliknya, akan kehilangan kesempatan membangun industri kuat karena terlalu takut menghadapi kompetisi?
Yang jelas, keputusan ini akan membawa dampak luas, tidak hanya pada sektor konstruksi, tapi juga manufaktur, ketenagakerjaan, dan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Pemerintah dituntut untuk mencari keseimbangan, agar kepentingan nasional tetap terjaga tanpa mengorbankan masa depan industri dalam negeri.